Tuesday, January 29, 2008

Mel C's Id Card

Ola!
Jadi, beberapa hari yang lalu tiba-tiba gue dapet sms dari om pao. Guess what he's telling me? Temennya interview si Mel C di Jerman sana, dan He's got melanie c's ID Card for me. Huah!!!!! LOl;p I know it might sound silly... tapi gue bener2 seneng banget. hehe.. Mel C's id card.. O my God, id card?!? it's being touched by melc herself. Huahahhaha...(freak!?!?).
Rencananya tanggal 2 ini Om Pao nyampe Jakarta. Huh!??! Can't wait!




Saturday, January 19, 2008

the city of liverpool

Ola!

Ada banyak alasan buat gue untuk menjadikan Liverpool sebagai salah satu kota di dunia yang harus gue datengin sebelum gue pergi dari dunia ini. hehehe  Diantaranya adalah kultur musik dan sepakbolanya yang gila banget. Buat lo semua yang belom tau (kebangetan banget kalo gak tau) Liverpool adalah hometown dari klub sepakbola terhebat di dunia (hehe), LIVERPOOL FC dan band terbesar di dunia- THE BEATLES. Buat gue pribadi, Liverpool jadi sangat spesial karena kota ini juga adalah hometown dari - my favorite artist of all time - MEL C.

Ngomong2 tentang MEl C, kemarin tulisannnya tentang kota LIVERPOOL di publish di koran THE SUN di Inggris sana. Let's check what she said about the city of Liverpool...

Liverpool’s the new New York

By MELANIE C

Published: 19 Jan 2008

 

I WAS over the moon when Liverpool was named European City of Culture because, like every Scouser, I’m very proud of my home city.

We have great history – whether it be music, the arts or architecture.

I’m also proud of the city’s education system. There are fantastic schools, brilliant universities and Sir Paul McCartney’s school for music, the Liverpool Institute for Performing Arts (LIPA).

I think one of the main reasons Liverpool is so multi-cultural and interesting is because it is a port.

The docks meant there was a huge influx of people from all over the world.

 

Buzz

A port always gives a place a real buzz and I think Liverpool has never lost that buzz, even in the Eighties when things were so tough.

It was a real struggle for ordinary people to cope with the high unemployment and all the politics going on at the time, but they never gave up and it remained an exciting place to visit.

The people have always been very warm and friendly to visitors and I do think it’s a special place – but then I am biased.

Scousers have the best sense of humour in the world and I think many of them you talk to are funnier than the famous comedians from Liverpool you see on TV.

Every city has its stereotypes and people mock Scousers but they are good at taking the mickey out of themselves so it’s not a problem.

Liverpool has produced so many great bands and musicians, from the Sixties right up to today.

When I was growing up I was inspired by bands like Echo And The Bunnymen, The Teardrop Explodes and Frankie Goes To Hollywood.

And back in the Sixties there was no better place on earth to be than Liverpool if you were a teenager.

My mum and dad met at The Cavern club in the Sixties and whenever I ask her where and when she would like to be – if she could be in any era in any part of the world – she says, ‘Liverpool in the Sixties, there was nowhere like it’.

So for me The Cavern has an emotional place in my heart, a nice bit of history.

Today in Liverpool there is a great music scene going on. There’s a band called The Rascals that I’m really excited about and lots of bands – like Coldplay and Arctic Monkeys – come to record their albums in the city because of its musical heritage. You can go to a gig somewhere in the city every night, and all the musicians know each other so it’s a great, fun place to hang out.

I haven’t been back to see the revamped Cavern yet because I’ve been so busy with the Spice Girls.

But I really want to get involved in some of the events to celebrate Liverpool being City of Culture.

The ultimate for me would be to appear on stage with Paul McCartney when he plays at Anfield.

 

Iconic

The architecture in Liverpool is fantastic. The skyline now, with the iconic Liver Building and Pier Head, makes it look like New York.

The city is as exciting and vibrant as New York too.

The docklands area is now full of beautiful buildings and even in some of the old areas of Liverpool there are lovely Georgian houses.

I think the fact Liverpool has such a famous footballing history also makes it an enticing city for visitors.

Wherever in the world I go on holiday, sometimes to the middle of nowhere, I always bump into foreign Liverpool fans. They are everywhere.

I hope there will be a great legacy left behind from Liverpool being made City of Culture that we can all benefit from for years to come.

 

Tuesday, January 08, 2008

BAGIAN II

January 11th, 2008

 

Pahit dan getir. Kurang lebih perasaan itulah yang aku rasakan setelah melewati obrolan yang cukup emosional antara aku dan seorang mentor malam tadi.

 

Pahit, karena melihat kenyataan kreator-kreator yang tergabung dalam MFI, yang memperjuangkan penghapusan LSF justru semakin mempertegas perlunya sebuah lembaga seperti LSF ada diantara mereka.

Pahit, karena dengan demikian, maka perjuangan itu bisa dibilang sia-sia. Bodoh, dan terlalu naïf untuk mengusung semangat perubahan disaat dirinya sendiri masih belum mampu atau bahkan untuk sekedar menyadari makna keberadaan mereka disana.

 

Getir, karena aku memiliki harapan yang besar terhadap pergerakan ini. Getir, ketika aku bertanya “ jadi, akan gini-gini aja?”  dan dia menjawab “ Iya! Akan gini-gini aja.”

BAGIAN I

June 24th, 2007-“CAN’T READ THE FILM”

 

Film. Film bukan sekedar karya seni. Lebih dari itu, Film punya pengaruh yang sangat besar bagi penontonnya. Karna itu, menurut gue film gak bisa hanya dipandang sebagai karya seni, yang sama pembuatnya bebas diisi apapun, sama apa yang dia mau. Film lebih dari itu. Film, juga termasuk media yang punya efek buat orang banyak. Karna itu, film juga harus punya tanggung jawab moral.

 

Filmmaker yang bikin film dan ditujukan buat orang banyak, tapi gak mikir efek kepada penontonnya bisa dibilang filmmaker yang egois, dan gak bertanggung jawab. Gak jadi masalah ketika film yang dia bikin ditujuin untuk kalangan tertentu aja, yang mungkin sependapat atau paling gak mengerti maksud dari si pembuat film itu. Tapi, ketika film itu ditujukan untuk khalayak yang luas dan random, film harus punya standar2 tertentu. Karna, gak semua orang tau gimana cara mengetahui dan mengerti makna dibalik gambar dan kata dalam film. Mereka hanya melihat apa yang ada di permukaannya aja.

 

Mungkin bisa dibilang, penonton sinetron dan penonton film itu sebener benernya gak berbeda. Mereka sama-sama melihat kedua jenis sajian audio-visual ini sebagai hiburan yang bisa mereka peroleh secara gratis (melalui TV) atau dengan mengeluarkan biaya tertentu untuk menikmatinya (melalui bioskop atau home video).  Yang membedakan diantara keduanya hanyalah si produsen. Tinggal bagaimana dan apa yang produsen audio visual ini buat untuk konsumsi orang2 tadi.  Lanjutnya, para penonton hanya tinggal menikmati, dan dengan bebas berapresiasi terhadapnya.

 

3 Hari Untuk Selamanya, salah satu pertanyaan terbesar gue saat ini. Film ini dibuat oleh orang2 yang sangat gue “adore” karena bisa dibilang inspirasional. Orang yang pertama kali bikin gue pengen bikin film, Orang yang pernah mengangkat cerita tentang (seorang yang juga akhirnya jadi inspirasi buat gue) Soe Hok Gie. Orang yang pernah bikin Petualangan Sherina yang belakangan setelah gue tonton ulang filmnya bikin gue harus bilang “this is great…”. Riri Riza, dan Mira Lesmana. Not forget to mention, mereka adalah penggerak gerakan MFI (Masyarakat Film Indonesia) yang katanya akan membawa perubahan buat dunia perfilman di Negara ini.

 

There’s gotta be something behind it!” Pertanyaan kayak gitu deh yang selalu ada di pikiran gue selepas gue nonton film terakhir produksi Miles ini. Soalnya, soul searching-nya karakter karakter ini berasa kentang aja, dan gak nendang. Jadi ketika gw nonton, gue gak merasa kalo segala kejadian yang mereka alami dalam perjalanan itu ngebentuk diri mereka. Huh?! Mungkin emang otak gue udah mulai terpengaruh atau mungkin juga udah ter- brainwash sama pemikiran-pemikirannya si Zulham (dosen Tekomas gw) karena habis gue nonton 3 Hari Untuk Selamanya, I felt nothing. Kecuali lumayan cuci mata ngeliat Nico, yang sepanjang film nyimeng tanpa henti sambil kadang2 keliatan horny ngeliat asti yang disitu harus gue akuin  keliatan seksi  dan mainnya, keren. Nonton film yang full drugs & sex dan kenyataan bahwa sampe akhir film gue gak tau maksudnya apa, ini film lumayan bikin lo mikir, How Come Riri Riza make this kind a movie? What’s the meaning of it?  Ketidak tahuan ini lalu bikin gue berpikir bahwa film ini gak bagus effeknya buat anak-anak muda. Apalagi anak2 umuran SMP yang lagi dalam masa2 pengen mengetahui banyak hal di dunia ini. Jujur, gue aja yang udah seumur segini, yang hidup disekeliling orang2 yang hobi-nya nge-baks sama ngiprit dan not forget to mention..sex Rada2 goyah dan sempet kepikiran buat sekali-kali nyimeng atao nge-i. Apalagi anak2 SMP-an gitu?!?!? Gokil. Gak kebayang aja. Apalagi ketika ade gw yang masih SMP bilang kalo dia mau nonton lagi itu film. Huh?!?! Apa yang bikin dia mau nonton lagi, karena jelas… anak2 seumuran gitu gak akan nonton film dengan tau apa sebenernya makna dibalik gambar dan kata dalam film tersebut. Berani taroan, kalo salah satu alasan kenapa dia mau nonton lagi adalah gambaran kerennya anak muda rebel, yang bebas nyimeng, nge-I, sampe ngeseks dalam sebuah perjalanan tanpa orang tua yang mengekang mereka dalam film ini. Karena, secara dialog, berani taroan lagi.. kalo dia gak nyimak dan gak ngerti maksudnya. 

 

Mungkin emang Mas Riri cuma ingin memberikan gambaran tentang dua orang anak muda yang seperti ini, atau mungkin juga film ini merupakan bentuk protesnya dia sama LSF. Whatever lah, yang jelas film ini gak bagus ditonton sama manusia-manusia yang belum cukup dewasa untuk mengerti dan menimbang apa yang bagus dan apa yang enggak bagus buat dilakuin. Kendati di poster filmnya ada tanda kalsifikasi 17 tahun ketas, atau apapun bentuknya, yang pasti kenyataannnya anak2 dibawah umur banyak yang nonton film ini. Terus, ketika otak mereka kemudian terbius sama apa yang ditampilkan di film ini… Who’s to blame?

Saturday, January 05, 2008

Cinta.. Cinta...!??!

 Tebak, tadi gue ketemu siapa di Citos?

 

“CINTA LAURA!”

 

Huahaha;p Yep! Tadi gue ketemu Cinta Laura. How cool is that?!?

Mungkin keliatannya norak dan aneh kenapa juga gue sesemangat ini gara-gara ketemu Cinta Laura. Bukan karena gue ngefans atau starstruck pas ketemu seleb.. ( please, I’ve had enough of

Celebrity ) tapi lebih karena – a k s e n  C i n t a L a u ra -- tuh lagi happening banget di antara gue dan temen-temen gue. Kita sering banget bercanda pake aksen itu, bahkan ampe kebawa dalam kehidupan sehari-hari. Saking seringnya ngomong pake aksen cinta laura, gue bahkan nunjukin jalan ke rumah ke tukang ojek pake aksen itu.

 

Ojek: “ Belok mana neng? ” ( logat betawi )

 

Gue: “ Kiri acja..” ( logat cinta laura )

 

Ojek: ?!?!?

 

Begitu ngeliat Cinta Laura, gue sama anak-anak serentak ketawa ngakak. Bis gitu mulai deh, saling nantangin  buat main DARE. Kita nyuruh si Dimas buat datengin Cinta Laura, trus negor dia dengan aksen yang sama kayak si bule itu. Huh.. Tapi emang dasar Dimas cupu. Masa’ gitu aja dia gak berani. Malah nge-DARE gue buat ngambil beberapa sepatu display di matahari trus ngebuang ke lanatai di depan mata mas-mas penjaganya. Huh?!/1 What kind of dare is that? Basi banget.. (btw, gue pernah di dare buat ngelakuin hal yang kurang lebih sama sama si Gina).

Fitri malah ngedare gue untuk nyisirin rambut si cinta laura, Cuma  gara gara dia lagi megang sisir. Halah.. ini lebih gak penting lagi!?!?

 

Karena kita sibuk nantangin DARE-DARE an.. si Cinta Laura pun akhirnya hilang dari pandangan.. huuu… Dasar! Gak seru! Hauahahha.  Well maybe next time we’ll catch on you, cinta! Huahaha;p

Thursday, January 03, 2008

SnAp!


Gupta& Jalu
Loc: Cipta Niaga
Year: 2006

pictures taken by me
kecuali foto ytonk semua menggunakan digicam samsung gw yang kadang sakti, kadang dodol. Lol;p

Tahun Baru & Om Jin

 

            Happy New Year! 4 hari terlambat, tapi gpp lah.

 

Malam tahun baru akhirnya gw habiskan di rumah bersama bokap, nyokap & ade gue sambil nonton the atonement yang tragis. Hiks*.*,. Jam 12 malem gw & nyokap berdiri di balkon tingkat 2 rumah gue, dan tanpa gue sadari it’s amazingly beautiful. Dari balkon rumah gue, terlihat kembang api kecil-kecil tapi banyak banget yang bertebaran di udara yang menandakan pergantian tahun. Ditambah lagi pemandangan gedung-gedung di daerah kuningan yang bisa keliatan jelas dari situ.  Kalo dipikir-pikir sejenak kayaknya itu adalah salah satu malam tahun baru yang terbaik yang pernah gue alamin. Gak tau kenapa, saat itu gue ngerasa kangen banget sama nyokap, yang setahun belakangan ini jarang gue temuin karena kesibukan gue yang gila-gilaan. Meskipun kita tinggal di atap yang sama, gue bahkan jarang ketemu sama dia. Kalo dia gak udah berangkat, gue masih tidur. Atau ketika gue pulang dia-nya yang udah tidur. Huh?! Bahkan saat dia operasi desember dua tahun lalu gue masih disibukkan dengan telfon-telfon yang gak ada hentinya. Februari tahun lalu, pas dia operasi buat kedua kalinya gue bahkan gak ada disana karena mesti ngerjain sesuatu di Mesir. Sedih banget. Tapi semua itu seakan pay off sama moment di balkon rumah pas pergantian tahun baru… Thank God! Miss you, Mum!

Kemaren, akhirnya beberapa nilai semester ini udah bisa diliat di SIAKNG. Pas lagi chatting sama ninit dia ngasih tau kalo di mata kuliah feature& documenter dia dapet nilai C. Huh? Penasaran, kahirnya gue juga buru-buru ngeliat. Jeng.. jeng.. dan gue dapet C juga. Selintas kepikiran di otak gue, muka si om jin yang tua, sangat ketinggalan jaman dan menyebalkan. Gak lama, Gina telfon dan dia juga buru-buru liat nilai. Beberapa menit kemudian dia telfon lagi. Dengan nada suar yang sedikit dramatis, dia bilang kalo dia dapet C.. (eh, apa C+ ya!?! Lupa gw) Huahaha. Kenyataan bahwa gue dan ninit dapet C, dan  Gina juga dapet nilai segitu, kayaknya bikin dia sedikit jungkir balik gak percaya. Hauhaha.. Bayangkan kalo lo punya cita-cita jadi jurnalis, trus nilai menulis feature dan documenter lo C. Apa kata HRD tempat kita ngelamar kerja nanti!??! Huahahahahaha! You’re so… not becoming a journalist, baby..! .

Masalahnya, nilai itu dikasih sama dosen menulis feature & documenter yang bahkan gak tau apa itu  PULITZER PRIZE. Hello?!?!?!  Ibaratnya lo tuh filmmaker yang gak tau OSCAR. Musisi Indonesia yang gak tau AMI AWARD, Atlet bulutangkis yang gak tau All England, Petenis yang gak tau Wibeldon, atau Nadine Chandrawinata yang gak tau apa itu Miss Universe. Huah?!?!?! Udah gila kali tuh orang.