Tuesday, January 08, 2008

BAGIAN I

June 24th, 2007-“CAN’T READ THE FILM”

 

Film. Film bukan sekedar karya seni. Lebih dari itu, Film punya pengaruh yang sangat besar bagi penontonnya. Karna itu, menurut gue film gak bisa hanya dipandang sebagai karya seni, yang sama pembuatnya bebas diisi apapun, sama apa yang dia mau. Film lebih dari itu. Film, juga termasuk media yang punya efek buat orang banyak. Karna itu, film juga harus punya tanggung jawab moral.

 

Filmmaker yang bikin film dan ditujukan buat orang banyak, tapi gak mikir efek kepada penontonnya bisa dibilang filmmaker yang egois, dan gak bertanggung jawab. Gak jadi masalah ketika film yang dia bikin ditujuin untuk kalangan tertentu aja, yang mungkin sependapat atau paling gak mengerti maksud dari si pembuat film itu. Tapi, ketika film itu ditujukan untuk khalayak yang luas dan random, film harus punya standar2 tertentu. Karna, gak semua orang tau gimana cara mengetahui dan mengerti makna dibalik gambar dan kata dalam film. Mereka hanya melihat apa yang ada di permukaannya aja.

 

Mungkin bisa dibilang, penonton sinetron dan penonton film itu sebener benernya gak berbeda. Mereka sama-sama melihat kedua jenis sajian audio-visual ini sebagai hiburan yang bisa mereka peroleh secara gratis (melalui TV) atau dengan mengeluarkan biaya tertentu untuk menikmatinya (melalui bioskop atau home video).  Yang membedakan diantara keduanya hanyalah si produsen. Tinggal bagaimana dan apa yang produsen audio visual ini buat untuk konsumsi orang2 tadi.  Lanjutnya, para penonton hanya tinggal menikmati, dan dengan bebas berapresiasi terhadapnya.

 

3 Hari Untuk Selamanya, salah satu pertanyaan terbesar gue saat ini. Film ini dibuat oleh orang2 yang sangat gue “adore” karena bisa dibilang inspirasional. Orang yang pertama kali bikin gue pengen bikin film, Orang yang pernah mengangkat cerita tentang (seorang yang juga akhirnya jadi inspirasi buat gue) Soe Hok Gie. Orang yang pernah bikin Petualangan Sherina yang belakangan setelah gue tonton ulang filmnya bikin gue harus bilang “this is great…”. Riri Riza, dan Mira Lesmana. Not forget to mention, mereka adalah penggerak gerakan MFI (Masyarakat Film Indonesia) yang katanya akan membawa perubahan buat dunia perfilman di Negara ini.

 

There’s gotta be something behind it!” Pertanyaan kayak gitu deh yang selalu ada di pikiran gue selepas gue nonton film terakhir produksi Miles ini. Soalnya, soul searching-nya karakter karakter ini berasa kentang aja, dan gak nendang. Jadi ketika gw nonton, gue gak merasa kalo segala kejadian yang mereka alami dalam perjalanan itu ngebentuk diri mereka. Huh?! Mungkin emang otak gue udah mulai terpengaruh atau mungkin juga udah ter- brainwash sama pemikiran-pemikirannya si Zulham (dosen Tekomas gw) karena habis gue nonton 3 Hari Untuk Selamanya, I felt nothing. Kecuali lumayan cuci mata ngeliat Nico, yang sepanjang film nyimeng tanpa henti sambil kadang2 keliatan horny ngeliat asti yang disitu harus gue akuin  keliatan seksi  dan mainnya, keren. Nonton film yang full drugs & sex dan kenyataan bahwa sampe akhir film gue gak tau maksudnya apa, ini film lumayan bikin lo mikir, How Come Riri Riza make this kind a movie? What’s the meaning of it?  Ketidak tahuan ini lalu bikin gue berpikir bahwa film ini gak bagus effeknya buat anak-anak muda. Apalagi anak2 umuran SMP yang lagi dalam masa2 pengen mengetahui banyak hal di dunia ini. Jujur, gue aja yang udah seumur segini, yang hidup disekeliling orang2 yang hobi-nya nge-baks sama ngiprit dan not forget to mention..sex Rada2 goyah dan sempet kepikiran buat sekali-kali nyimeng atao nge-i. Apalagi anak2 SMP-an gitu?!?!? Gokil. Gak kebayang aja. Apalagi ketika ade gw yang masih SMP bilang kalo dia mau nonton lagi itu film. Huh?!?! Apa yang bikin dia mau nonton lagi, karena jelas… anak2 seumuran gitu gak akan nonton film dengan tau apa sebenernya makna dibalik gambar dan kata dalam film tersebut. Berani taroan, kalo salah satu alasan kenapa dia mau nonton lagi adalah gambaran kerennya anak muda rebel, yang bebas nyimeng, nge-I, sampe ngeseks dalam sebuah perjalanan tanpa orang tua yang mengekang mereka dalam film ini. Karena, secara dialog, berani taroan lagi.. kalo dia gak nyimak dan gak ngerti maksudnya. 

 

Mungkin emang Mas Riri cuma ingin memberikan gambaran tentang dua orang anak muda yang seperti ini, atau mungkin juga film ini merupakan bentuk protesnya dia sama LSF. Whatever lah, yang jelas film ini gak bagus ditonton sama manusia-manusia yang belum cukup dewasa untuk mengerti dan menimbang apa yang bagus dan apa yang enggak bagus buat dilakuin. Kendati di poster filmnya ada tanda kalsifikasi 17 tahun ketas, atau apapun bentuknya, yang pasti kenyataannnya anak2 dibawah umur banyak yang nonton film ini. Terus, ketika otak mereka kemudian terbius sama apa yang ditampilkan di film ini… Who’s to blame?

No comments: