Friday, May 14, 2010

thing about lebak

Gara-gara liat foto-foto jalan ke Ujung Kulon, jadi teringat sesuatu.


Saya  berada dalam sebuah minibus ELF saat tiba-tiba menyadari bahwa tempat di mana saya berada itu bernama Lebak, Banten. Seketika saya mulai memperhatikan ke luar pintu ELF yang terbuka lebar itu. So... here I am. Berada di sebuah daerah yang terkenal hingga ke ujung belahan dunia karena sebuah buku berjudul 'Max Havelaar'.



Saat itu lah saya menyadari bahwa apa yang digambarkan di buku itu sungguh tidak jauh berbeda. Sebuah tempat yang memiliki tanah subur, yang ditanami berbagai macam produk pertanian. Rumah-rumah penduduk yang sangat sangat sederhana kalo gak boleh dibilang miskin dan jalanan aspal panjang yang semakin ujung semakin hilang aspalnya. Hanya saja kemudian saya mulai tersadar bahwa sepanjang jalan saya banyak melihat resort-resort mewah, dan villa villa pribadi orang kaya. Saya juga kemudian sadar bahwa saat itu adalah tahun 2009. Yep. 2009. Tahun di mana sahabat saya yang duduk di sebelah ini lagi sibuk mencari sinyal untuk update twitter di Blackberrynya. Tahun dimana kami, si anak-anak kota dengan blackberry ini lagi mau merasakan sebuah petualangan menembus hutan belantara Ujung Kulon. 



Semua itu tiba-tiba jadi terasa salah di pikiran saya. 



Max Havelaar menggambarkan daerah Lebak sebagai daerah yang sangat subur dan kaya dengan hasil bumi, namun rakyatnya miskin dan nyaris kelaparan. Hasil bumi sepenuhnya dimonopoli oleh pejabat pejabat kolonial dan bangsawan daerah tanpa menyisakan hasil yang cukup untuk kesejahteraan rakyatnya. Well, gak jauh beda sama apa yang saya liat barusan. Bedanya, Multatuli menuliskan hal tersebut sekitar tahun 1840-an. Yep. 1840. Yang berarti sekitar lebih dari 160-an tahun yang lalu. 



Lalu, apa yang terjadi dengan daerah ini dalam kurun waktu 160-an tahun itu? 



Sepertinya gak ada perubahan yang berarti kecuali munculnya banyak pertambangan atas nama perusahaan negara dan resort-resort mewah di sepanjang pantainya. Sisanya, hanya Lebak seperti 160 tahun sebelumnya.


No comments: