Tuesday, April 14, 2009

travel blog: Ujung Kulon part III

Tepat jam 8 kami sudah tiba di bibir pantai, dimana kedatangan kami sudah dinanti sama kapal yang akan mengantar kita menuju tanjung layar. Dan seperti biasa, sebelum naik kapal, kami harus mengamankan barag-barang elektronik ke dalam plastik. Karena air yang pasang yang membuat kita harus berjalan dari kapal denngan kedalaman air setinggi dada orang dewasa. Waduh!? Haiahaha. Ya udah deh. Apa boleh buat. Rencana  kami buat foto-foto matahari pagi sepanjang perjalanan harus ditahan, demi keselamatan kamera-kamera kami.

 

Tanjung Layar

Tanjung layar letaknya juga gak jauh dari Cidaon. Tepatnya sekitar 15 menit berlayar pake kapal kecil menuju Cibom dan trekking selama 1,5 jam.  Karena pantai cibom pasang & penuh karang, kapal gak bisa merapat. Untungnya di sana ada kano. Alhamdulillah. Jadi kan kita gak harus jalan kaki dengan menerobos air setinggi dada. Yippie! Satu kano bisa diisi 3-4 orang. Jadi, Kano itu harus bolak-balik sekitar 4 kali buat nganter kita ke tepi pantai dan ngangkut barang-barang.


Di pantai, kita sempet kaget karena ketemu buaya. Huaa!! Buaya! Atut…  Hehehe. Namun setelah dideketin ternyata tuh buaya adalah boneka buaya. Hauhaha. Gubrak! Huehehe. Sial. Dah parno aja. Lagian ngapain coba ada boneka buaya di tempat kaya begini!?!?

 

Ternyata, boneka buaya itu bukan satu-satunya sampah yang traveling ke pantai cibom. Masih ada seambruk lagi sampah yang berceceran di sepanjang laut dan pantai cibom. Entah karena kegiatan wisatawan yang buang sampah sembarangan ato karena hal lain. Tapi, kalo katanya pak komar sih, sampah-sampah itu adalah sampah dari daerah laen, atau bahkan Sumatra yang kebawa arus. Wuah.. parah juga ya!? Makanya, di manapun kita berada, ingat selalu untuk jangan buang sampah sembarangan! Kita gak pernah tau di mana sampah-sampah itu akan berakhir. Nah kalo berakhirnya di laut kaya gini kan bisa ngerusak ekosistem dan keindahan laut. Payah!


Dalam perjalanan, si Tyo juga kehilangan sandal gara-gara tanpa sengaja kakinya nyangkut di karang. Sampe sekitar lima belas menit kita muter muter ngaduk-ngaduk air muara buat nemuin sendal si Tyo kaya orang tolol. Hauhahaa. Dan gak ketemu juga. Hiahaha. Ya udah, gue pun segera mencari sendal bekas yang bercecer di antara—sampah-sampah tadi, minta tyo pake sendal itu, dan melanjutkan perjalanan.


Trekking kali ini ternyata lebih sulit ketimbang trekking di hutan ciodaon. Rintangannya banyak banget. Ada pohon melingkar, ada pohon melintang, Lumpur, batu, kepiting mati, dsb. Si galuh yang tukeran sandal ma Tyo juga akhirnya harus melepas alas kaki jepit itu dan nyeker. Hiahahahha! Mantabh! Makanya, jangan pake sendal jepit kalo ke sini,. Huahahaa!

 

Trekking satu setengah jam sambil bawa barang berat emang cukup jadi PR. Geblek. Cape banget, dah! Udah gitu, menuju akhir perjalanan, jalan setapak ini semakin menggila: nanjak! Hiahahaha! Mantebh  banget gak tuh!?!? Beruntung ada mercusuar, di mana kita bisa numpang beristirahat sejenak sambil nyuci kaki yang tebungkus Lumpur.

 

Setelah itu, kita kembali melanjutkan perjalanan. Gak jauh dari mercusuar akhirnya kita tiba di tanjung layar yang tersohor itu. AWSOME! GOKIL! KEREN GILA!?!? Huaaaah!!!! Pengen teriak rasanya! Hiaahhahaa. Pemandangannya indah banget. Diantara dua tebing, ada padang rumput dan lautan dengan susunan baru karang dengan ombak yang memecah. Mantabh! Begitu melihat view ini, kita langsung jatohin ransel & carrier sembarangan , copot sendal dan lari-larian menuju pantai. Woohoo...!


Diantara tumpukan batu karang ini, ada juga laguna kecil yang juga terdapat bunga karang di dalamnya. Bagus banget… Makanya gue, Tyo, Galuh yang ngeluyur duluan betah berlama-lama di sini sambil foto-foto dan nungguin ombak yang memecah. Hihihihi. Seru. Selain itu, ada ikan kecil yang mirip sama nemo yang mucul dari balik karang. Ikan stripes gt, tapi warnanya kamuflase dengan karang. Awsome!

 

 

Ketika lagi ayik menikmati keindahan laut dan karang, gue yang lagi pose dengan background ombak memecah harus menikmati sayatan batu karang ketika sebuah ombak yang kuat menghantam gue dan berhasil menghempaskan badan dan kaki ke dalam laguna yang dipenuhi batuan karang yang tajam. Beeeeh! MAnteb banget tuh rasanya. Perih, bo?!!?

 

Maka, dengan kaki cidera gue pun kembali ke padang rumput diatas sana. Ternyata, Benny & Lisa, serta Anto dan Pak Kusni lagi asik-asiknya masak sambil tidur-tiduran santai dibawah lindungan poco yang dirubah jadi atap. Hahaahaha. Kurangajar! Santai bener mereka!

 

Dan ketika melihat seonggok kornet yang habis digoreng, perut gue terasa lapar. Segera gue memasak 2 bungkus mie goreng + kornet + abon buat makan siang. Yah, maklum aja, ketika sarapan tadi pagi gue cuma makan dikit gara-gara gak doyan sama sosis kepiting yang tercampur dalam mie rebus…

 

Setelah bebrapa jam nongkrong di padang rumput itu, gue & galuh pergi untuk mencari spot mendirikan tenda. Akhirnya kita menemukan padang rumput yang cukup luas di pinggir tebing yang menghadap ke lautan lepas yang letaknya  ada di sebelah selatan tempat nongkrong kita. Maka, langsung deh kita memboyong barang-barang ke sana dan segera membangun tenda untuk beristirahat. Seperti biasa, tenda biru-nya Anto, tenda besarnya Tyo, tenda pasangan baru Benny & Lisa, Serta tenda teletubbies Wiedhi yang kita jadiin tempat barang. Dan karena tanahnya lebih luas dari spot camping pertama, maka kali ini kita bisa membangun sebuah dapur yang letaknya di belakang tenda tidur. Hehehe. Seru juga punya dapur sendiri…



Begitu tenda selesai didirikan, anak-anak pun melakukan kegiatan selanjutnya: Masak buat makan malam. Kali ini lumayan banyak yang dimasak. Nasi, telur orak-arik, ikan teri, serta sarden. Si Galuh kebagian tugas buat mencuci beras. Dan dengan okenya, doi cuma nyuci beras itu seklai bilas. What?! Dengan sedikit memaksa gue nyuruh Galuh buat ngebilas tuh beras minimal 2 kali. Tapi doi tetep kekeuh buat nyuci sekali dengan alasan air bersihnya udah mau abis. Walah!?! Huahahaa… Makanya, sebagai solusi, gue dityugaskan untuk mengambil air di Mercusuar. Hiaaa… Sial. Itu berarti gue harus trekking lagi, dan nanjak sambil bawa berbotol-botol air. Hauahhaa. Dasar camping! Yah, karena gak ada pilihan lain gue akhirnya berangkat juga sambil ngajakin si Wiedhi…

 

Obrolan mercusuar

Sampe mercusuar, ternyata gak ada orang. Ya udah gue langsung aja menuju tempat penampungan air hujan dan menadahi kerannya dengan botol-botol kosong. Sekalian nampung aiir buat buang air & cuci muka.

 

Ketika gue lagi beraktifitas itulah, datang pak Kosasih si penjaga Mercusuar yang baru saja kembali mengambil solar dari nelayan di pinggir pantai. Wah, gokil juga nih bapak, padahal kan jarak dari pinggir pantai ke sini cukup jauh. Wuahahaha….


Pak Kosasih ini sangat baik, karena persediaan gasnya masih penuh, maka ia mengizinkan kami untuk memasak air di dapurnya yang sangat sederhana. Wuah, boleh juiga tawarannya. Kami pikir, daripada kami memasak air dengan kompor trangia yang lama banget matengnya, mendingan kita masak air di sini dengan ceret yang cukup besar. Mantabh lah. Sambil menunggu air matang, Pak Kosasih juga menyuguhi kami dengan satu sisir buah pisang yang diambil langsung dari pohon yang ditanamnya sambil kami bercakap-cakap, ditemani oleh burung elang yang hilir mudik rendah sekali di atas kami. Wihihihi.. keren...


Jadi, ceritanya doi menjaga mercusuar ini dengan 4 orang temannya yang lain. Namun, karena satu dan lain hal beberapa orang temannya ini terpaksa kembali ke rumahnya masing-masing. Jadilah Pak Kosasih menjaga mercusuar ini sendirian. Mercusuar ini sendiri, adaalh mercusuar ketiga yang dibangun di Tanjung Layar. Mercusuar pertama, dibangun pada tahun 1801 pada masa penjajahan Belanda. Letaknya ada di padang rumput yang sebelumnya kami kunjungi. Namun, karena letusan gunung krakatau, maka mercusuar ini hancur.

 

Mercusuar kedua dibangun pada tahun 1855 atau 1955, gitu.. gue lupa. Letaknya berada di atas tebing di atas padang rumput tempat mercuasuar pertama. Namun, mercusuar itu terpaksa dipindahkan karena tempatnya yang berbahaya disebabkan oleh penggerusan karang oleh air laut. Baru sekitar tahun 1975, mercusuar yang baru ini berdiri. Bentuknya mirip dengan bangunan menara eifel yang berada di Perancis. Maklum, pak Kosasih bilang, arsiteknya memang orang Perancis.

 

Kembali ke cerita kehidupan Pak Kosasih, dia juga bercerita tentang bagaimana pengalaman dia selama menjaga mercusuar ini. Bagaimana menjalankan keseharian seorang diri di tengah hutan seperti ini dan harus berbagi dengan para binatang penghuni taman nasinal ujung kulon, dimana  ayam-ayam peliharaannya dimakan oleh musang, hingga tanaman singkongnya yang terus dimakan oleh kawanan banteng. Hingga kerap kali, Pak Kosasih harus berebut daun singkong dengan para banteng. Huahahaha… Kehidupan yang absurd…

 

Selain itu, dia juga bercerita mengenai bintang apa saja yang dapat ditemui di sekitar mercusuar dan perkemahan kami, termasuk diantaranya Banteng yang doyan jalan-jalan si sekitar sini, babi hutan dan macan kumbang yang juga suka berburu babi hutan di sini..Hmm... (nge-pause dikit) Huah! Macan Kumbang!?!? (parno mode ON bagian 3). Iya, macan kumbang! Mantebh banget gak tuh! “TEPAT” banget rasanya gue dan temen-temen bikin tenda di tempat tadi. HUaaaaa!!!! Atut…..!!!

 

Sudahlah. Kita kembali ke kehidupan pak Kosasih aja. Lanjutnya, Pak Kos juga cerita kalo kini, temannya satu-satunya cuma si ayam jago. Iya, si ayam jago putih yang daritadi seliweran depan mata gua. Hahaha. Ternyata dia adalah satu-satunya ayam yang tersisa dari serbuan musang. Ya ampun, kasian banget yah tuh ayam… Bahkan Pak Kosasih bilang, Ayam ini kadang-kadang terlihat begitu stress. Jadi, kalo lagi sepi- siang-siang kadang Pak Kosasih suka mengintip kelakuan ayamnya dari balik jendela. Dan si Ayam seringkali lari-larian muter-muterin penampungan air sambil mengibas-ngibaskan sayapnya dan berkokok tanpa henti. Hahahaha.. kasian banget kan ni ayam!?! Gokil banget. Ternyata hidup di hutan seorang diri itu bukan hanya bikin manusia stress, bahkan ayam aja bisa stress. Haiahahhaa…

 

Gimana gak mau stress. Bayangin aja, lama kerja dia adalah 3 sampe 5 bulan nonstop tanpa bisa pulang ke rumahnya di pandeglang, doi hidup di tempat paling ujung di pulau jawa, dimana amat sangat jarang ada orang berkungjung. Dan dia, gak punya hiburan apapun. Saluran TV gak ada karena gak dikasih parabola sama kantornya, siaran radio juga gak ada.. Koran apalagi. Gokil. Bisa dibayangkan kan gimana hidupnya si pak Kosasih ini?!? Boring, gila!?!  Tapi yang membuatnya sedih adalah keadaan dimana ia harus jauh dari keluarganya. Pernah ketika dia betugas di wilayah Suamtera, dia harus menghabiskan waktu berbulan-bulan di sebuah pulau kecil, sehingga jenggot dan kumisnya tumbuh begitu lebat tanpa bisa dipotong. Ketka dia kembali ke rumah, ternyata istrinya sudah melahirkan seorang anak. Yang sedih adalah si anak ketakutan dan selalu menangis kalau berdekatan dengan Pak Kosasih. Hingga butuh waktu berminggu-minggu untuk membuat si Anak merasa akrab dengannya. Namun, ketika si anak sudah mulai merasa nyaman berada di dekatnya, waktunya untuk berlibur pun habis. Dan dia harus kembali bekerja sebagai penjaga mercusuar. 


Wuah.. sedih banget! Gue gak bisa ngebayangin gimana rasanya jadi pak kosasih… Tapi mau bagaimana lagi? Ini adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa ia kerjakan, karena sulit buat dia untuk mencari pekerjaan lain dengan ijazah smp… hiks.. sedih…

 

Cerita yang horror adalah cerita ketika seringkali dia harus mengubur jenazah manusia-manusia yang terdampar di tanjung layar. Waduh!? Huahahaa. Anjrit. Parno lagi deh gue. Pak Kosasih gak tega untuk membiarkan jenazah itu hanya teronggok di pinggir karang, maka kerap kali ia menguburkan mereka dengan layak di sekitar tanjung layar. Kebetulan di sebelah jalan setapak trekking, terdapat perkuburan yang beberapa tahun sebelum-sebelumnya digunakan untuk menguburkan jenazah para penjaga mercusuar yang terkena berbagai penyakit selama bertugas di sini. Dulu, katanay, para penjaga mercusuar mengajak serta keluarganya untuk tinggal di sini, namun setelah kematian slah satu penjaga mercusuar karena malaria, maka tidak ada lagi keluarga yang tinggal di sini. Hiah! Males bgt kan lo dengernya, blog!?

 

Belum lagi cerita ketidakharmonisan dia dengan pihak taman nasional. Seringkali, pihak taman nasional bertindak kasar kepada Pak Kosasih karena menuduh pak Kosasih memberikan perlindungan kepada pencuri di taman nasional. Satu hal yang sangat ironis, ketika satu-satunya manusia terdekat dari mercusuar ini adalah para petugas gabungan taman nasional. Hiaa.. sedih amat sih bapak…

 

Wah, gak berasa kami ngobrol selama berjam-jam. Hiaahaha. Air minum kami pun sudah matang. Jadi, kami segera pamit ke Pak Kosasih, karena kami berencana buat memburu sunset di padang rumput tanjung layar. Kami pun menguucappkan terimakasih dan berpamitan. Pak Kosasih kemudian mengingatkan kami untuk datang kembali ke tempatnya apabila pertlu mandi atau  butuh tempat ketika cuaca tiba-tiba memburuk. SYip lah. Thanks Pak Kosasih!

 

Senja di ujung Jawa

Kembali ke tenda, teman-teman menyambut kami dengan heran karena begitu lamanya kami mengambil air ke mercusuar yang jaraknya hanya sekitar 500 meter dari tempat kami berkemah. Hiahhaa… Maka, kami bercerita tentang si bapak penjaga mercusuar tadi…

 

Ketika waktu menunjukkan pukul 5 sore, kami bergegas menuju padang rumput yang letaknya hanya sekitar 200 meter dari kemah buat melihat sunset. Kecuali Benny & Lisa yang memutuskan untuk memancing.

 

Jauh di sana kami mulai melihat matahari yang akan segera tenggelam. Untuk lebih jelas, kami nekat menaiki karang yang cukup tinggi. Huahaha. Seru banget. Maklum lah, di daratan ini gak ada orang lain kecuali kami & Pak kosasih. Jadi, kami bebas melakukan apapun di sini. Termasuk manjat karang dan tebing-tebing di wilayah ini dengan bebasnya.

 

Sunset di tanjung Layar sungguh luar biasa. Indah banget! Dari lensa kamera, kami bisa menangkap siluet batuan karang, hamparan air laut, sebuah kaapl nelayan yang meintas, serta pantulan cahaya matahari di perairan ujung jawa. Apalagi ketika kami menengok ke belakang dimana hamparan rumput di tengah dua tebing itu berada. Amazing! Rasa-rasanya kaya' berada pada zaman purba. Mantabh!

 

Silent night

Malam hari, kami mulai mengumpulkan kayu bakar dari sekeliling tenda untuk api unggun. Sementara, Tyo yang bertugas memasak juag sudah mulai menyajikan hasil masakannya di penggir tebing yang kami jadikan sebagai meja makan.

 

Setelah puas menyantap masakan tyo yang cukup enak kami mulai ngobrol-ngobrol sambil menikmati malam terakhir kami di ujung kulon. Diatas, banyak bintang bertebaran. Dan ketika kami mematikan lampu senter yang menjadi sumber penerangan, kami baru menyadari kalau pemandangan di atas tenda kami benar-benar menakjubkan. Hamparan bintang dan kunang-kunang yang menyala dan beterbangan. Gila… Keren! Gak rugi deh  jauh-jauh dateng ke tempat ini! It was an awesome view!!!!

 

Semakin malam, kami semakin mengantuk. Maka, kami  kembali ke tenda untuk beristirahat. Kecuali beberapa orang cowo-cowo yang masih aja ngobrol di luar tenda, tapi toh lama kelamaan suara ngobrol mereka gak terdengar lagi. Sepertiya mereka tertidur. Sementara gue juga tidur di dalam tenda sambil siaga dan mencoba buat menghapuskan bayangan macan kumbang dari pikiran gw. Hauahhaa.. God, please keep that macan kumbang away from us!

 

Namun, jam setengah 3 pagi terdengar kepanikan dari tenda sebelah. Babi hutan! Waduh! Dengan segera gue terjaga dari tidur! Lalu cowo2 yang ada di luar tenda lalu segera masuk ke dalam tenda. Haiahahhaa.. ternyata mereka takut sama babi hutan! Hauahaha.. gak beberapa lama, Hap! Hap! Langsung gue ngacir keluar tenda dengan panik. Gila’! males banget rasanya ngelanjutin tidur sementara ada babi hutan bolak balik di dekitar tenda lo.. haiahahaaa….


to be continued...

No comments: